"Pakde…, Pakde, sikil kulo pripun posisine?"
Suara cempreng anak-anak itu terdengar riuh di antara ketukan kendang dan gemulai gerakan tari topeng Malangan. Mereka bukan sedang bermain-main. Mereka belajar. Tapi bukan di kelas formal, melainkan di sebuah gubuk kecil bernama Gubuk Baca Kampung Treteg.
Di tengah mereka berdiri seorang lelaki berambut dikuncir rapi, tubuhnya tinggi besar, senyum selalu mengembang meski mulutnya kadang tertutup tangan saat tertawa. Lelaki itu mereka panggil “Pakde”. Nama aslinya Abit, tapi nyaris seluruh warga Kampung Busu—dari bocah hingga simbah-simbah—lebih akrab menyebutnya dengan sapaan penuh hormat itu.
Dari Preman Menjadi Jendral Literasi
Tak banyak yang menyangka, sosok bersahaja itu menyimpan sejarah kelam. Ia pernah menjalani hidup sebagai pemabuk, penjudi, bahkan pemalak. Masa lalu yang tak banyak dibanggakan, tapi justru menjadi batu pijakan bagi perubahannya kini. Dari jalanan menuju panggung pengabdian.
Selama lebih dari 15 tahun, rumahnya disulap menjadi ruang belajar. Anak-anak berkumpul, bukan hanya untuk membaca buku, tapi juga untuk mengenal seni, budaya, dan kehidupan. Mereka bukan generasi pertama yang dibimbingnya. Sebelum mereka, ibu-ibu mereka juga pernah diasuh tangan dingin Pakde Abit.
Di bawah naungan komunitas Preman Mengajar, Abit menjelma menjadi "Jenderal"—bukan dalam arti militer, melainkan pemimpin gerakan para pemuda yang dulu dicap ‘nakal’. Kini, para preman kampung itu bukan lagi pengacau. Mereka guru kehidupan bagi anak-anak, penggerak seni budaya, bahkan fasilitator permainan tradisional di sekolah-sekolah.
Mengubah arah hidup preman kampung menjadi teladan, bukan perkara mudah. Tapi Jenderal Abit membuktikannya. Dengan ketekunan dan pendekatan yang manusiawi, ia berhasil mengorganisir mereka menjadi ujung tombak perubahan.
Gubuk Kecil, Dampak Besar
Gubuk Baca Kampung Treteg adalah jantung dari perjuangan itu. Sederhana dan mungil, tapi penuh makna. Tempat ini bukan sekadar ruang baca, tapi taman bermain ide, ruang tumbuh harapan, dan panggung kecil yang melahirkan banyak bintang baru di kampung.
Dari sinilah Abit menggerakkan semangat gotong royong, menumbuhkan budaya belajar, dan menyulut api literasi yang terus menyala—meski angin zaman kerap menerpa.
Kini, buah kerja keras itu telah tampak. Empat taman baca tumbuh di dusunnya. Ia dipercaya menjadi pengurus program budaya desa dan kecamatan. Nama “Pakde” tak hanya menggema di kampungnya, tapi juga sampai ke ruang-ruang seminar, bahkan menjadi inspirasi.
Hidup yang Menghidupkan
Pakde Abit mungkin hanya lulusan SMP. Tapi pengaruh dan dedikasinya telah menyentuh ratusan, bahkan ribuan jiwa. Ia membuktikan bahwa pendidikan bukan semata soal ijazah, tapi tentang cahaya yang kita nyalakan untuk orang lain.
Kini, langkahnya sedikit melambat. Istrinya tengah sakit, dan Abit memilih mengurangi aktivitasnya demi mendampingi sang istri. Pandemi pun pernah mengguncang perekonomiannya. Namun ia tak pernah benar-benar berhenti. Karena generasi yang dibesarkannya, telah siap melanjutkan estafet perubahan.
Seperti semboyan yang selalu ia bisikkan ke murid-muridnya:
“Hidup harus saling menghidupkan, bergerak, dan saling menggerakkan.”
Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih,
berikanlah kesehatan, kekuatan, dan umur panjang untuk Pakde Abit.
Limpahkanlah keberkahan atas setiap langkah pengabdiannya,
ampunilah dosa-dosanya, dan muliakanlah niat baiknya.
Jadikanlah beliau cahaya bagi kampungnya,
penggerak kebaikan di tengah tantangan,
dan panutan yang terus menyalakan harapan.
Lindungilah keluarganya, sembuhkan istrinya,
dan gantikan setiap lelahnya dengan pahala yang berlipat-lipat.
Aamiin ya Rabbal 'aalamiin.